Ilmuwan percaya bahwa gen spesies Denisovan masih ada di orang Papua. Efeknya, mereka menjadi lebih kuat. Denisovan merupakan hominini purba yang telah punah yang hidup di Asia sebelum manusia modern menetap di Papua.
Dalam penelitian terdahulu, ilmuwan menemukan bahwa Denisovan meninggalkan gen yang bermanfaat bagi manusia modern keturunan mereka. Hal ini karena Denisovan kawin silang dengan manusia purba dan mewariskan sebagian genom mereka.
Para peneliti meyakini bahwa mutasi genetik pada Denisovan yang memengaruhi struktur protein tertentu telah bertahan dalam genom orang Papua. Sehingga membuat mereka lebih rendah terpapar penyakit seperti malaria.
Awalnya, ilmuwan mengira hanya orang Papua yang membawa jejak DNA Denisovan, dengan hingga 5 persen genom mereka diwarisi dari hominini purba ini.
Namun, penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa sejumlah kecil materi genetik Denisovan juga dapat ditemukan pada populasi Asia Timur, Asia Selatan, dan penduduk pribumi Amerika.
Dengan memanfaatkan segmen Denisovan yang masih ada dalam genom manusia modern, para ilmuwan telah menemukan bukti setidaknya tiga peristiwa masa lalu yang menunjukkan bahwa gen Denisovan yang berbeda masuk ke dalam tanda genetik manusia modern.
“Adalah kesalahpahaman umum bahwa manusia berevolusi secara tiba-tiba dan rapi dari satu nenek moyang yang sama, tetapi makin banyak yang kita pelajari, semakin kita menyadari bahwa perkawinan silang dengan berbagai hominin terjadi dan membantu membentuk manusia seperti kita saat ini,” kata penulis studi Linda Ongaro dalam sebuah pernyataan, dikutip dari IFL Science, Jumat (11/11/2024).
Berdasarkan bukti yang tersedia, Denisovan Altai asli mulai terpecah menjadi beberapa garis keturunan sekitar 409.000 hingga 222.000 tahun yang lalu.
Populasi tertua tampaknya telah kawin silang dengan nenek moyang kuno populasi Asia Timur saat ini, sementara DNA dari dua garis keturunan Denisovan yang terpisah dapat ditemukan dalam genom Papua.
Menariknya, karena Denisovan tiba di Eurasia ratusan ribu tahun sebelum manusia modern, mereka telah mengembangkan sejumlah adaptasi genetik yang memungkinkan mereka bertahan hidup di berbagai lingkungan yang keras, dari dataran tinggi hingga padang rumput yang dingin.
Karena kawin silang dengan mereka, Homo sapiens tampaknya telah mengambil sejumlah gen yang menguntungkan ini.
“Di antaranya adalah lokus genetik yang memberikan toleransi terhadap hipoksia, atau kondisi oksigen rendah, yang sangat masuk akal karena terlihat pada populasi Tibet,” kata Ongaro.
Dikenal sebagai lokus EPAS1, gen khusus ini dapat ditelusuri kembali ke kelompok Denisova yang berbaur dengan orang Asia Timur.
“Contoh lain dari introgresi adaptif terkait dengan metabolisme lipid pada suku Inuit dari Greenland, yang memiliki haplotipe yang sangat berbeda di wilayah TBX15/WARS2 yang mungkin diperkenalkan ke dalam kumpulan gen manusia modern melalui introgresi dengan Denisovan,” tulis penulis studi tersebut.
Menurut Ongaro, adaptasi genetik ini memengaruhi cara tubuh memecah lemak, yang pada akhirnya memberikan panas saat dirangsang oleh dingin, yang memberikan keuntungan bagi populasi Inuit di Kutub Utara.