Mengapa Israel-Hizbullah Bisa Gencatan Senjata Tapi Gaza Tidak?

Seorang wanita bereaksi setelah tiba di kota itu, setelah gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hizbullah yang didukung Iran mulai berlaku pada pukul 02.00 GMT pada hari Rabu setelah Presiden AS Joe Biden mengatakan kedua belah pihak menerima perjanjian yang ditengahi oleh Amerika Serikat dan Prancis, di Tyre, Lebanon, 27 November 2024. (REUTERS/Adnan Abidi)

Israel dan kelompok proksi Iran di Lebanon, Hizbullah, resmi melakukan gencatan senjata Rabu. Perjanjian damai sementara ini akan berlaku 60 hari hingga 26 November 2024.

Ini menjadi sebuah langkah baru yang bertujuan mengurangi ketegangan di Timur Tengah. Tentunya setelah lebih dari setahun menjadi hostpot konflik multifront.

Berdasarkan kesepakatan itu, Israel akan secara bertahap menarik pasukannya dari Lebanon. Sementara Hizbullah akan sepenuhnya mundur ke utara Sungai Litani.

Pasukan Lebanon akan dikerahkan dan mengendalikan Lebanon selatan yang menjadi pusara konflik Israel dan Hizbullah. Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden, salah satu inisiator, menyebut keduanya telah berjanji memenuhi kesepakatan.

Namun, apa arti gencatan senjata tersebut bagi pihak-pihak yang bertikai? Mengapa gencatan senjata bisa dilakukan Israel dan Hizbullah sementara Gaza tidak?

Merujuk laman The Conversation, ada sejumlah alasan mengapa gencatan senjata bisa terjadi saat ini. Alasan ini berbeda-beda baik dari Israel, Hizbullah sendiri, atau pihak-pihak lain yang terlibat tak langsung seperti Iran dan AS.

“Namun… waktu gencatan senjata ini adalah hasil dari konvergensi kepentingan antara pemerintah di Israel, Hizbullah sendiri, dan sponsor utamanya, Iran. Meski, semuanya karena alasan yang berbeda,” kata pakar Lebanon dan konflik perbatasan di Timur Tengah, Asher Kaufman, ke laman itu, dikutip Kamis (28/11/2024).

Israel

Bagi Israel, ada masalah di dalam negeri. Pertama terkait Pasukan Pertahanan Israel (IDF). Mereka disebut kelelahan setelah lebih dari setahun berperang.

Hal ini khususnya berlaku bagi para prajurit cadangan Israel, yang jumlahnya semakin banyak yang tidak masuk tugas. Masyarakat umum Israel juga lelah dengan konflik, dan mayoritas mendukung gencatan senjata dengan Hizbullah.

Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu juga memiliki masalah pula dalam pemerintahannya. Ia menghadapi tekanan dari mitra koalisi yang berkuasa yang ultra-Ortodoks untuk menyusun undang-undang yang membebaskan orang-orang Yahudi ultra-Ortodoks dari wajib militer.

“Mengurangi kebutuhan akan personel aktif dengan menenangkan garis depan dengan Lebanon akan membantu dalam hal itu,” kata Kaufman.

Orang-orang yang mengendarai kendaraan roda dua membawa bendera Hizbullah sambil memberi isyarat dengan tanda kemenangan, di pintu masuk pinggiran selatan Beirut, setelah gencatan senjata antara Israel dan kelompok Hizbullah yang didukung Iran berlaku pada pukul 02.00 GMT pada hari Rabu setelah Presiden AS Joe Biden mengatakan kedua belah pihak menerima perjanjian yang ditengahi oleh Amerika Serikat dan Prancis, di Lebanon, 27 November 2024. (REUTERS/Thaier Al-Sudani)

Lagipula, dari sudut pandang tentara Israel, Perang di Lebanon telah mencapai titik yang semakin tidak menguntungkan. Perang ini telah berhasil melemahkan posisi militer Hizbullah tetapi belum mampu memusnahkan kelompok militan tersebut sepenuhnya.

Hizbullah

Hizbullah juga diyakini telah sangat lemah di Lebanon. Perang, menurut Kaufman, telah mengikis kemampuan militernya.

Hal ini terlihat saat Hizbullah mengiyakan gencatan senjata meski sebelumnya sangat keras berujar baru akan melaksanakannya jika serangan Israel terhadap Hamas di Gaza dihentikan. Hizbullah sendiri adalah sekutu dekat Hamas, yang sama-sama berada di “poro perlawanan”.

Hizbullah dan faksi-faksi politik Lebanon lainnya juga menghadapi tekanan domestik yang kuat. Lebanon memiliki lebih dari 1 juta pengungsi akibat konflik tersebut di mana sebagian besar dari mereka adalah penganut Syiah, aliran yang dianut Hizbullah.

Kondisi di Lebanon telah meningkatkan risiko pertikaian sektarian antara Syiah dan faksi-faksi lain di negara tersebut. Bagi para pemimpin Hizbullah, waktunya mungkin tampak tepat untuk mengurangi kerugian mereka dan bersiap untuk berkumpul kembali sebagai badan politik dan militer.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*