Studi Ungkap 5 Alasan Korban KDRT Bertahan di Pernikahan Toxic

Foto: Claudia Wolff via Unsplash

Baru-baru ini tengah heboh pemberitaan terkait kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami selebgram Cut Intan Nabila yang dilakukan suaminya Armor Toreador.

Kasus KDRT tersebut terungkap setelah Cut Intan Nabila mengunggah video dirinya yang tengah dianiaya sang suami. Ia juga menyebut sang suami telah berkali-kali selingkuh selama lima tahun pernikahan mereka. 

Kasus yang menimpa Cut Intan langsung viral dan menjadi topik pembicaraan warganet. Tak sedikit yang kaget dengan fakta bahwa sang selebgram ternyata sudah lama bertahan di dalam hubungan pernikahan yang toksik. 

Perlu diingat, kita tak boleh menyalahkan korban karena tak mampu meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan. Dengan memahami alasan seorang perempuan bertahan di hubungan yang toksik, kita bisa mendukung dan memberdayakan perempuan untuk membuat keputusan terbaik bagi mereka sambil meminta pertanggungjawaban pelaku kekerasan atas perilakunya.

Berbagai riset menemukan ada beberapa alasan mengapa perempuan memilih diam meski disakiti pasangannya. Berikut paparannya dilansir Women’s Aid.

1. Merasa dalam bahaya dan ketakutan

Salah satu alasan utama mengapa perempuan korban kekerasan tidak melaporkan tindakan pasangannya yaitu karena mereka merasa dalam bahaya. Ketakutan yang dirasakan perempuan sangat nyata dan ada kemungkinan akan ada kekerasan setelah perpisahan.

Sekitar 41% (37 dari 91) wanita yang dibunuh oleh pasangan pria/mantan pasangan di Inggris, Wales, dan Irlandia Utara pada tahun 2018 telah berpisah atau mengambil langkah untuk berpisah dari pria yang menyakitinya. Sebelas dari 37 perempuan ini dibunuh dalam bulan pertama perpisahan dan 24 dibunuh dalam tahun pertama (Sensus Pembunuhan Perempuan, 2020).

2. Isolasi sosial

KDRT sering kali dilakukan dengan mengisolasi korban. Pelaku berupaya menjauhkan korban dari keluarga dan temannya, sehingga sangat sulit baginya untuk mencari pertolongan.

Pelaku sering kali berusaha mengurangi kontak pasangannya dengan dunia luar untuk mencegahnya menyadari bahwa perilakunya kasar dan salah. Isolasi sosial menyebabkan perempuan menjadi sangat bergantung pada pasangannya yang suka mengontrol.

3. Rasa malu dan penyangkalan

Pelaku sering kali sangat dihormati di lingkungannya, sehingga mungkin akan sulit bagi orang lain untuk percaya bahwa dia sebenarnya adalah pelaku kekerasan.

Pelaku sering kali meremehkan, menyangkal, atau menyalahkan pelecehan tersebut pada korban. Korban mungkin merasa malu atau membuat alasan kepada diri mereka sendiri dan orang lain untuk menutupi KDRT tersebut.

4. Trauma dan rasa percaya diri yang rendah

Bayangkan jika pasangan setiap hari mengatakan kata-kata merendahkan yang membuat Anda merasa tidak berharga dan membuat kepercayaan dirinya turun. Korban tidak memiliki kebebasan untuk membuat keputusan dalam hubungan yang penuh kekerasan, mereka sering kali mengalami trauma, terus-menerus dimaki ‘kamu tidak becus mengurus diri sendiri, kamu butuh aku’.

5. Alasan praktis

Pelaku sering kali mengontrol setiap aspek kehidupan korbannya, sehingga seringkali sulit bagi korban untuk memiliki pekerjaan atau kemandirian finansial. Dengan mengendalikan akses terhadap uang, wanita tidak dapat menghidupi diri sendiri atau anak-anak mereka.

Mereka mungkin takut anak-anak mereka akan diambil atau faktor ekonomi. Sebab banyak yang menganggap meminta bantuan bukanlah hal yang mudah sehingga mereka memilih bertahan.

Untuk membantu perempuan korban KDRT, dibutuhkan support dari lingkungan keluarga, masyarakat, dan teman-teman.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*